Manusia dan tanggung jawab adalah satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan,dari kehidupan bermasyarakat.mari kata lihat pengertian dari Manusia Dan Tanggung Jawab
Manusia merupakan mahluk individual (pribadi), manusia juga mahluk sosial (berkmasyarakat) dan manusia juga merupakan mahluk pengabdi dalam batasan seorang hamba (religi) artinya adalah manusia itu sendiri sebagai mahluk tuhan. Jika ditinjau dari definisi manusia dari aspek tersebut diatas maka tidak akan terlepas peranan manusia di dunia ini yang mencakup ketiganya secara sederhana namun kompleks. Sehingga dari pernyataan dan definesi tersebutlah dapat disimpulkan bahwa manusia adalah mahluk pembelajar.
Tanggung jawab merupakan aktualisasi dan perwujudan dari sikap sadar seorang yang dikatakan manusia. Jika manusia melakukan suatu hal dengan resiko dan penyelesaian masalahnya dilakukan dalam keadaan tidak sadar, baik sakit atau pengaruh obat – obatan maka tidak dapat dikatakan sebagai si tanggung jawab. Sadar memiliki pengertian tahu, pengertian dan ingat sehingga kesadaran dapat didefinisikan sebagai pengertian dan rasa ingin tahu manusia terhadap hal yang benar baik terhadap sikap dan perbuatannya. Dimana kesadaran manusia sangat berkaitan erat denga hati dan pikiran yang terbuka dan mau menerima sejumlah informasi dan ilmu pengetahuan serta hal – hal yang benar.
Dan bertanggung jawab dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.
Disini kita bias lihat suatu cerita tentang, bagaimana manusia dalam memenuhi tanggung jawabnya dalam kehidupan bersama alam.
Ketika Alam Mulai Enggan
Oleh : Robertus Fahik (Sleman, Yogyakarta)
Tanggal : Minggu, 30 Mei 2010
HARI itu keceriaan masih memancar dari wajah Imam Wahyudi, bocah berusia 15 tahun, siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Nyabakan Barat, Kecamatan Batang-batang, Sumenep, Jawa Timur. Bersama 15 orang temannya, Imam mencangkul tanah di dekat sebuah bukit kecil. Tanah hasil cangkulan ini rencananya akan mereka bawa untuk meninggikan lapangan volly di desanya. Namun keceriaan itu sirna seketika bersama datangnya longsoran tanah yang tak diduga itu. Imam tertimbun longsoran tanah. Teman-temannya langsung mencari Imam walau hanya mengandalkan cangkul yang mereka bawa. Pencarian selama sejam memang tak sia-sia. Mereka berhasil mendapatkan temannya. Namun sayang, Imam tak bernyawa lagi.
Kisah Imam Wahyudi sesungguhnya hanyalah satu dari sekian kisah, kejadian, pengalaman bahkan tragedi yang terjadi di negri ini, bukti adanya keretakan hubungan manusia dengan alamnya. Entah sudah berapa nyawa yang hilang akibat banjir, entah sudah berapa rumah yang ambruk akibat longsor. Lihatlah, pemberitaan media akhir-akhir ini tak pernah sepi dari bencana alam. Tentu ada yang melihat ini hanya sebagai gejala alam. Tapi banyak pula yang menyadari bahwa keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam secara berlebihan turut memberi andil yang berarti dalam berbagai peristiwa alam. Maka syair Ebiet G. Ade, Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, tentu sangat menarik untuk direnungkan. Sebab sesungguhnya sejarah mencatat bahwa hubungan manusia dengan alamnya begitu romantis. Bahkan nenek moyang kita sangat menyatu dengan alamnya. Demikianlah kebudayaan-kebudayaan bahkan agama-agama manusia sesungguhnya sangat menghormati alam sebagai bagian dari keutuhan hidup.
Namun waktu berubah, manusia makin serakah dan keharmonisan hubungan manusia-alam itu perlahan pudar. Berbagai peristiwa bencana alam kiranya membuka mata hati kita untuk menyadari bahwa memang alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Sekali lagi, keserakahan manusia memainkan peran yang cukup berarti di sini.
Berbagai penelitian dan data yang ada membuktikan bahwa kondisi alam atau tepatnya kerusakan alam merupakan persoalan serius yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebut saja penelitian terbaru yang dilakukan Universitas Adelaide. Empat negara yakni Brasil, Amerika Serikat, Cina dan Indonesia dinyatakan sebagai negara paling berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di muka bumi. Ada tujuh indikator yang digunakan untuk mengukur degradasi lingkungan yakni penggundulan hutan, pemakaian pupuk kimia, polusi air, emisi karbon, penangkapan ikan, ancaman spesies tumbuhan dan hewan, dan peralihan lahan hijau menjadi lahan komersial seperti mal, pusat perdagangan dan perkebunan.
Kiranya hasil penelitian itu tidaklah berlebihan. Sebab data yang dikeluarkan Departemen Kehutanan RI tentang laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006, cukup memprihatinkan yakni mencapai 1,17 juta hektar pertahun. Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya 26 jutahektar hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH (Hak Penguasaan Hutan). Dari total luas hutan di Indonesia, hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer.
Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar di sebabkan oleh kegiatan industri, terutama industri kayu yang telah menyalagunakan HPH yang diberikan sehingga mengarah pada pembabatan liar. Penyebab laju deforestasi lainnya ialah pengalihan fungsi hutan (konversi hutan)menjadi perkebunan. Konversi hutan menjadi area perkebunan (seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta hektar hutan sampai akhir 1997.
Disadari atau tidak, deforestasi telah memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan kita. Penebangan hutan yang mengesampingkan pelestarian mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Dampak buruk deforestasi lainnya ialah terancamnya kelestarian satwa dan flora di Indonesia.
Melirik hasil penelitian dan data-data yang ada sambil melihat pengalaman konkret sebagaimana dialami Imam Wahyudi dan berbagai peristiwa serupa, kiranya tak ada pilihan lain kecuali mengembalikan keharmonisan hubungan kita dengan alam. Dalam hal ini, peran semua pihak tentu dituntut, entah pemerintah, swasta maupun masyarakat luas.
Pemerintah misalnya, perlu mengembangkan upaya pelestarian sumber daya alam secara berkelanjutan melalui kegiatan konservasi. Penegakan hukum terhadap pelaku penebangan liar (illegal logging) pun penting untuk mencegah kerusakan hutan lebih lanjut. Perusahaan swasta yang mendapat ijin pemerintah hendaknya tidak hanya menjalankan eksploitasi dan menyerahkan regenerasi tanaman pada alam melainkan turut memperhatikan upaya pelestarian alam. Tuntutan yang sama pun tentunya dialamatkan kepada masyarakat luas. Selanjutnya hal-hal kecil seperti tidak membuang sampah di daerah aliran sungai (DAS), tidak mengotori udara dengan asap kendaraan bermotor yang berlebihan, mesti terus ditumbuhkembangkan sebagai sisi lain upaya membangun kembali keharmonisan dengan alam.
Tentu, alam diperuntukkan bagi manusia. Tapi tanggung jawab manusia atas alam pun kiranya menjadi tuntutan mutlak. Maka membangun pusat perbelanjaan untuk sebuah kemajuan misalnya, tentu baik. Tapi lebih baik lagi jika penebangan hutan dibarengi dengan upaya peremajaan (regenerasi) tanaman. Jika ini sudah menjadi bagian dari kesadaran kita, tentu kisah Imam Wahyudi tak akan terulang begitu saja karena alam telah bersahabat dengan kita sebagaimana kita menghormatinya.
Jadi saya menyimpulkan dari tema kita ”Manusia dan Tanggung jawabnya”.Saya kira semua manusia yang terlahir di dunia memiliki tanggung jawabnya masing-masing. Tanggungjawab ini lah yang harus kita emban dengan rasa harus diselesaikan dengan cara seharusnya. Setiap manusia adalah pemilik tanggung jawabnya sendiri, maka dari itu jadilah manusia yang bertanggung jawab!!
Referensi:
http://filsafat.kompasiana.com/2010/05/03/manusia-dan-tanggung-jawab/
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzQ0OA==
sumber : http://robertyusnanto.wordpress.com/2010/11/27/manusia-dan-tanggung-jawab/
Manusia merupakan mahluk individual (pribadi), manusia juga mahluk sosial (berkmasyarakat) dan manusia juga merupakan mahluk pengabdi dalam batasan seorang hamba (religi) artinya adalah manusia itu sendiri sebagai mahluk tuhan. Jika ditinjau dari definisi manusia dari aspek tersebut diatas maka tidak akan terlepas peranan manusia di dunia ini yang mencakup ketiganya secara sederhana namun kompleks. Sehingga dari pernyataan dan definesi tersebutlah dapat disimpulkan bahwa manusia adalah mahluk pembelajar.
Tanggung jawab merupakan aktualisasi dan perwujudan dari sikap sadar seorang yang dikatakan manusia. Jika manusia melakukan suatu hal dengan resiko dan penyelesaian masalahnya dilakukan dalam keadaan tidak sadar, baik sakit atau pengaruh obat – obatan maka tidak dapat dikatakan sebagai si tanggung jawab. Sadar memiliki pengertian tahu, pengertian dan ingat sehingga kesadaran dapat didefinisikan sebagai pengertian dan rasa ingin tahu manusia terhadap hal yang benar baik terhadap sikap dan perbuatannya. Dimana kesadaran manusia sangat berkaitan erat denga hati dan pikiran yang terbuka dan mau menerima sejumlah informasi dan ilmu pengetahuan serta hal – hal yang benar.
Dan bertanggung jawab dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.
Disini kita bias lihat suatu cerita tentang, bagaimana manusia dalam memenuhi tanggung jawabnya dalam kehidupan bersama alam.
Ketika Alam Mulai Enggan
Oleh : Robertus Fahik (Sleman, Yogyakarta)
Tanggal : Minggu, 30 Mei 2010
HARI itu keceriaan masih memancar dari wajah Imam Wahyudi, bocah berusia 15 tahun, siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Nyabakan Barat, Kecamatan Batang-batang, Sumenep, Jawa Timur. Bersama 15 orang temannya, Imam mencangkul tanah di dekat sebuah bukit kecil. Tanah hasil cangkulan ini rencananya akan mereka bawa untuk meninggikan lapangan volly di desanya. Namun keceriaan itu sirna seketika bersama datangnya longsoran tanah yang tak diduga itu. Imam tertimbun longsoran tanah. Teman-temannya langsung mencari Imam walau hanya mengandalkan cangkul yang mereka bawa. Pencarian selama sejam memang tak sia-sia. Mereka berhasil mendapatkan temannya. Namun sayang, Imam tak bernyawa lagi.
Kisah Imam Wahyudi sesungguhnya hanyalah satu dari sekian kisah, kejadian, pengalaman bahkan tragedi yang terjadi di negri ini, bukti adanya keretakan hubungan manusia dengan alamnya. Entah sudah berapa nyawa yang hilang akibat banjir, entah sudah berapa rumah yang ambruk akibat longsor. Lihatlah, pemberitaan media akhir-akhir ini tak pernah sepi dari bencana alam. Tentu ada yang melihat ini hanya sebagai gejala alam. Tapi banyak pula yang menyadari bahwa keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam secara berlebihan turut memberi andil yang berarti dalam berbagai peristiwa alam. Maka syair Ebiet G. Ade, Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, tentu sangat menarik untuk direnungkan. Sebab sesungguhnya sejarah mencatat bahwa hubungan manusia dengan alamnya begitu romantis. Bahkan nenek moyang kita sangat menyatu dengan alamnya. Demikianlah kebudayaan-kebudayaan bahkan agama-agama manusia sesungguhnya sangat menghormati alam sebagai bagian dari keutuhan hidup.
Namun waktu berubah, manusia makin serakah dan keharmonisan hubungan manusia-alam itu perlahan pudar. Berbagai peristiwa bencana alam kiranya membuka mata hati kita untuk menyadari bahwa memang alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Sekali lagi, keserakahan manusia memainkan peran yang cukup berarti di sini.
Berbagai penelitian dan data yang ada membuktikan bahwa kondisi alam atau tepatnya kerusakan alam merupakan persoalan serius yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebut saja penelitian terbaru yang dilakukan Universitas Adelaide. Empat negara yakni Brasil, Amerika Serikat, Cina dan Indonesia dinyatakan sebagai negara paling berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di muka bumi. Ada tujuh indikator yang digunakan untuk mengukur degradasi lingkungan yakni penggundulan hutan, pemakaian pupuk kimia, polusi air, emisi karbon, penangkapan ikan, ancaman spesies tumbuhan dan hewan, dan peralihan lahan hijau menjadi lahan komersial seperti mal, pusat perdagangan dan perkebunan.
Kiranya hasil penelitian itu tidaklah berlebihan. Sebab data yang dikeluarkan Departemen Kehutanan RI tentang laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006, cukup memprihatinkan yakni mencapai 1,17 juta hektar pertahun. Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya 26 jutahektar hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH (Hak Penguasaan Hutan). Dari total luas hutan di Indonesia, hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer.
Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar di sebabkan oleh kegiatan industri, terutama industri kayu yang telah menyalagunakan HPH yang diberikan sehingga mengarah pada pembabatan liar. Penyebab laju deforestasi lainnya ialah pengalihan fungsi hutan (konversi hutan)menjadi perkebunan. Konversi hutan menjadi area perkebunan (seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta hektar hutan sampai akhir 1997.
Disadari atau tidak, deforestasi telah memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan kita. Penebangan hutan yang mengesampingkan pelestarian mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Dampak buruk deforestasi lainnya ialah terancamnya kelestarian satwa dan flora di Indonesia.
Melirik hasil penelitian dan data-data yang ada sambil melihat pengalaman konkret sebagaimana dialami Imam Wahyudi dan berbagai peristiwa serupa, kiranya tak ada pilihan lain kecuali mengembalikan keharmonisan hubungan kita dengan alam. Dalam hal ini, peran semua pihak tentu dituntut, entah pemerintah, swasta maupun masyarakat luas.
Pemerintah misalnya, perlu mengembangkan upaya pelestarian sumber daya alam secara berkelanjutan melalui kegiatan konservasi. Penegakan hukum terhadap pelaku penebangan liar (illegal logging) pun penting untuk mencegah kerusakan hutan lebih lanjut. Perusahaan swasta yang mendapat ijin pemerintah hendaknya tidak hanya menjalankan eksploitasi dan menyerahkan regenerasi tanaman pada alam melainkan turut memperhatikan upaya pelestarian alam. Tuntutan yang sama pun tentunya dialamatkan kepada masyarakat luas. Selanjutnya hal-hal kecil seperti tidak membuang sampah di daerah aliran sungai (DAS), tidak mengotori udara dengan asap kendaraan bermotor yang berlebihan, mesti terus ditumbuhkembangkan sebagai sisi lain upaya membangun kembali keharmonisan dengan alam.
Tentu, alam diperuntukkan bagi manusia. Tapi tanggung jawab manusia atas alam pun kiranya menjadi tuntutan mutlak. Maka membangun pusat perbelanjaan untuk sebuah kemajuan misalnya, tentu baik. Tapi lebih baik lagi jika penebangan hutan dibarengi dengan upaya peremajaan (regenerasi) tanaman. Jika ini sudah menjadi bagian dari kesadaran kita, tentu kisah Imam Wahyudi tak akan terulang begitu saja karena alam telah bersahabat dengan kita sebagaimana kita menghormatinya.
Jadi saya menyimpulkan dari tema kita ”Manusia dan Tanggung jawabnya”.Saya kira semua manusia yang terlahir di dunia memiliki tanggung jawabnya masing-masing. Tanggungjawab ini lah yang harus kita emban dengan rasa harus diselesaikan dengan cara seharusnya. Setiap manusia adalah pemilik tanggung jawabnya sendiri, maka dari itu jadilah manusia yang bertanggung jawab!!
Referensi:
http://filsafat.kompasiana.com/2010/05/03/manusia-dan-tanggung-jawab/
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzQ0OA==
sumber : http://robertyusnanto.wordpress.com/2010/11/27/manusia-dan-tanggung-jawab/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar